Siapa bilang tubuh kecil berarti karena makannya sedikit. Hukum ini tidak berlaku untuk makhluk hidup kecil lain seperti ulat sutra. Meski posturnya tidak lebih besar dari ibu jari orang dewasa, hewan ini membutuhkan makanan sangat banyak.
Selain butuh makan yang banyak, ulat ini pun sangat selektif soal makanan. Dia hanya mau memakan daun murbei dan tidak daun lainnya. Tidak heran ulat sutra memiliki nama ilmiah Bombyx mori, yang berarti ulat sutra pohon murbei. Doyannya ulat sutra terhadap murbei, karena murbei menghasilkan enzim glukosida yang menyebabkan rasa ketagihan.
Kerakusan ulat sutra terhadap murbei, akibat masa hidupnya yang bermetamorfosa sebanyak empat kali selama satu bulan. Kebutuhan makannya terjadi sejak masih berupa telur dan berakhir ketika ulat mengeluarkan serat sutra dan membuat kokon (kepompong). Biasanya petani sutra harus menyediakan 18 karung daun murbei per hari dimana satu karungnya berkapasitas 100 kilogram. Sebanyak itu hanya untuk mengembangkan 25 ribu telur ulat sutra.
Karena kebutuhannya yang besar, jarang ada petani sutra yang mengembangkan ulat sutra berbarengan dengan penanaman murbei. Jika keduanya dilakukan, maka dibutuhkan areal tanah yang luas untuk menanam murbei. Selain itu, penanaman murbei juga membutuhkan jumlah air yang besar. Lokasi penanaman pun harus berada di ketinggian 700 meter dari permukaan laut.
Hanya sedikit yang mampu melakukan teknik keduanya. Di Padepokan Dayang Sumbi, pemiliknya melakukan dua aktivitas pertanian; menanam murbei sekaligus mengembangbiakan ulat sutra. Padahal arealnya tidak terlalu besar.
"Kami punya areal tanah seluas 2 hektar. Sekitar 1,5 hektar tanah kami digunakan untuk menanam murbei," kata Dedi Agus Wirantoro (38), pengelola Padepokan Dayang Sumbi.
Dedy sengaja sengaja melakukan dua aktivitas tersebut. Karena seperti tujuan awalnya bahwa padepokan ini bukan sekadar pabrik kain sutra, melainkan sebagai wisata pendidikan untuk anak-anak.
Dedi mengaku, areal pertanian murbei dengan jumlah ulat belum sebanding. Karena itu, Dedi mengatakan menggunakan penamanan dengan sistem blok. Masing-masing blok bisa melakukan panen sebanyak satu kali dalam satu tahun. Di tempat Dedi ada tiga blok, sehingga bisa melakukan panen tiga kali
"Sistem blok juga bisa memberikan kesempatan pengunjung menyaksikan metamorfosa ulat selama satu tahun penuh," ujarny.
Kalah dari Cina
Varietas ulat sutera yang dibudidayakan di Padepokan Dayang Sumbi adalah varietas varietas Jepang. Varietas ini merupakan varietan umum yang dikembangkan kebanyak petani sutra di Indonesia. Varieta ini mampu menghasilkan 1.600 meter benang sutera per satu kepompong ulat sutra. Diakui Dedy, jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan varietas Cina yang satu kepompongnya bisa menghasilkan 3.000 meter benang sutera.
Dedy mengatakan kapasitas produksi di tempatnya hanya mampu menghasilkan 70 meter kain sutra jadi per satu kali panen. Jumlah itu diperoleh dari sekitar 70 kilogram kepompong dari satu kali panen. Dengan proses produksi seperti itu, wajar saja harga sutra menjadi lebih mahal ketimbang jenis kain lainnya.
Diakui Dedi, teknologi Cina dalam budidaya ulat sutera memang lebih unggul. Selan itu pemerintah Cina pun cukup serius dalam pengembangan budidaya ulat sutera ini. Wajar saja, karena negeri tirai bambu itu merupakan negara pertama yang membudidayakan ulat sutera.
Sumber : http://bandung.detik.com/read/2009/02/23/171730/1089232/668/ulat-sutera-binatang-yang-rakus
Selain butuh makan yang banyak, ulat ini pun sangat selektif soal makanan. Dia hanya mau memakan daun murbei dan tidak daun lainnya. Tidak heran ulat sutra memiliki nama ilmiah Bombyx mori, yang berarti ulat sutra pohon murbei. Doyannya ulat sutra terhadap murbei, karena murbei menghasilkan enzim glukosida yang menyebabkan rasa ketagihan.
Kerakusan ulat sutra terhadap murbei, akibat masa hidupnya yang bermetamorfosa sebanyak empat kali selama satu bulan. Kebutuhan makannya terjadi sejak masih berupa telur dan berakhir ketika ulat mengeluarkan serat sutra dan membuat kokon (kepompong). Biasanya petani sutra harus menyediakan 18 karung daun murbei per hari dimana satu karungnya berkapasitas 100 kilogram. Sebanyak itu hanya untuk mengembangkan 25 ribu telur ulat sutra.
Karena kebutuhannya yang besar, jarang ada petani sutra yang mengembangkan ulat sutra berbarengan dengan penanaman murbei. Jika keduanya dilakukan, maka dibutuhkan areal tanah yang luas untuk menanam murbei. Selain itu, penanaman murbei juga membutuhkan jumlah air yang besar. Lokasi penanaman pun harus berada di ketinggian 700 meter dari permukaan laut.
Hanya sedikit yang mampu melakukan teknik keduanya. Di Padepokan Dayang Sumbi, pemiliknya melakukan dua aktivitas pertanian; menanam murbei sekaligus mengembangbiakan ulat sutra. Padahal arealnya tidak terlalu besar.
"Kami punya areal tanah seluas 2 hektar. Sekitar 1,5 hektar tanah kami digunakan untuk menanam murbei," kata Dedi Agus Wirantoro (38), pengelola Padepokan Dayang Sumbi.
Dedy sengaja sengaja melakukan dua aktivitas tersebut. Karena seperti tujuan awalnya bahwa padepokan ini bukan sekadar pabrik kain sutra, melainkan sebagai wisata pendidikan untuk anak-anak.
Dedi mengaku, areal pertanian murbei dengan jumlah ulat belum sebanding. Karena itu, Dedi mengatakan menggunakan penamanan dengan sistem blok. Masing-masing blok bisa melakukan panen sebanyak satu kali dalam satu tahun. Di tempat Dedi ada tiga blok, sehingga bisa melakukan panen tiga kali
"Sistem blok juga bisa memberikan kesempatan pengunjung menyaksikan metamorfosa ulat selama satu tahun penuh," ujarny.
Kalah dari Cina
Varietas ulat sutera yang dibudidayakan di Padepokan Dayang Sumbi adalah varietas varietas Jepang. Varietas ini merupakan varietan umum yang dikembangkan kebanyak petani sutra di Indonesia. Varieta ini mampu menghasilkan 1.600 meter benang sutera per satu kepompong ulat sutra. Diakui Dedy, jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan varietas Cina yang satu kepompongnya bisa menghasilkan 3.000 meter benang sutera.
Dedy mengatakan kapasitas produksi di tempatnya hanya mampu menghasilkan 70 meter kain sutra jadi per satu kali panen. Jumlah itu diperoleh dari sekitar 70 kilogram kepompong dari satu kali panen. Dengan proses produksi seperti itu, wajar saja harga sutra menjadi lebih mahal ketimbang jenis kain lainnya.
Diakui Dedi, teknologi Cina dalam budidaya ulat sutera memang lebih unggul. Selan itu pemerintah Cina pun cukup serius dalam pengembangan budidaya ulat sutera ini. Wajar saja, karena negeri tirai bambu itu merupakan negara pertama yang membudidayakan ulat sutera.
Sumber : http://bandung.detik.com/read/2009/02/23/171730/1089232/668/ulat-sutera-binatang-yang-rakus