ADU PUKAT DI LAUT ACEH
oleh. Sulaiman Tripa
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Penggunaan trawl (pukat harimau) sudah hampir menjadi kelaziman baru di laut Aceh. Pelakunya ada tiga pihak, yakni nelayan luar negeri, nelayan luar daerah, dan nelayan Aceh sendiri. Masalah pelanggaran terjadi berlapis-lapis. Di samping penggunaan trawl memang jelas dilarang melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1980, sebagian kapal yang ditangkap juga tidak memiliki izin dan melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Dalam UU Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, diatur tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan dan merusak. Ancamannya mencapai Rp2 miliar. Selain itu, dalam konteks Aceh, pengelolaan perikanan dengan prinsip berkelanjutan juga diatur dalam UU Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006.
Inilah gambar pukat harimau (trawl) yang kerap digunakan nelayan-nelayan serakah untuk mencari keuntungan tanpa menjaga keseimbangan ekosistem laut. Kehadiran pukat monster ini cukup membuat gerah nelayan tradisionil yang kadang-kadang hasil tangkapanya cuma secuil. Pukat trawl ini bisa mengancam ikan dari kepunahan
Intinya, penggunaan trawl adalah merusak. Namun demikian, penggunaan trawl marak. Ada apa? Pelaku menyadari bahwa itu melanggar hukum (baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis), namun ada dalih ekonomi. Sebagian nelayan kita yang juga mengklaim sebagai nelayan tradisional, menggunakan trawl sebagai jalan terakhir karena “tak ada pilihan lain”.
Di kawasan Aceh Barat, ada sekitar 200 unit trawl yang digunakan nelayan sebagai alat tangkap yang mulai marak digunakan pascamusibah tsunami. Mereka sangat menyadari bahwa penggunaan trawl akan berdampak pada kerusakan flora dan fauna laut. (Serambi Indonesia, 06/01/2009).
Masalah trawl tak hanya di Aceh Barat. Pukat trawl beroperasi pada jarak 100 meter dari pantai di perairan Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Akhirnya ribuan nelayan dari 16 gampong memilih tak melaut karena maraknya operasional boat yang menggunakan pukat harimau (masyarakat menyebut pukat katrol) di daerah tangkapan nelayan tradisional. Jika nelayan tradisional memaksakan melaut, bukan hanya tak mendapatkan rezeki, tetapi jaring pun ikut tersapu oleh pukat katrol. Pengelola pukat katrol, nelayan punya jaringan yang kuat dengan berbagai kalangan sehingga mereka leluasa beroperasi. Selama ini dinas sering mengeluarkan pernyataan pukat katrol haram, tapi tindakannya tidak ada. (Serambi Indonesia, 16/02/2009).
Aktivitas pukat trawl juga mengganggu nelayan tradisional di Kecamatan Singkil Utara, Singkil, Kuala Baru, dan Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil. Mereka mengeluh karena pukat harimau beroperasi di wilayah nelayan tradisional. (Serambi Indonesia, 22/02/2008).
Berkali-kali organisasi masyarakat Hukom Adat Laot telah menyatakan “perang” terhadap pukat trawl. Ada lima alasan Panglima Laot Aceh menolak trawl, yakni: Pertama, trawl merusak ekosistem laut. Hal ini diklaim berkaitan dengan pendapatan nelayan tradisional yang berkurang, karena ikan-ikan dikuras dengan cara membabi-buta. Kedua, aktivitas trawl melanggar hukum di Indonesia. Ketiga, aktivitas trawl juga merusak rumpon-rumpon nelayan tradisional Aceh yang dipasang di laut. Keempat, nelayan tradisional Aceh takut mendekat ke kapal trawl karena pemilik trawl itu sangat brutal. Kelima, pengawasan terhadap trawl seperti tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal ini penting dalam hal menghindari sengketa antara trawl dengan nelayan tradisional. (Waspada, 25/06/07; Sulaiman Tripa, 2008).
Penolakan terhadap trawl ternyata sudah muncul sejak tahun 1982. Menurut Sanusi M. Syaref (2003), waktu itu, nelayan diorganisir oleh Panglima Laot Pasie Teunom Aceh Jaya, Pawang Syahrul Husin dan berhasil menangkap satu kapal trawl dari Thailand yang awaknya membawa pistol LE. Mereka dibawa ke Polres Meulaboh dan ditahan. Sepanjang 1982-1984 sudah mulai ada perhatian terhadap beroperasinya kapal trawl. Kemudian pada tahun 1992, perlawanan kemudian dilakukan dengan melempari bom Molotov oleh nelayan tradisional. Pada 1998, gelombang trawl semakin menjadi-jadi dan nelayan yang menyerbu berhasil menangkap satu kapal trawl.
Dalam pertemuan Dewan Meusapat Lembaga Hukum Adat Laot (Panglima Laot Se-Aceh) pada 8-10 Juni 2002 di Banda Aceh, Panglima Laot se-Aceh menyatakan penolakan terhadap rencana pencabutan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 karena dinilai dapat membahayakan kehidupan biota laut dan terumbu karang. Mereka mendesak DPRD dan Pemda Nanggroe Aceh Darussalam menyusun peraturan daerah pelarangan trawl di Aceh. Panglima Laot juga mendesak Pemda Aceh untuk menjaga laut dan potensi sumberdaya kelautan dari penjarahan kapal asing di Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeulue dan Aceh Singkil. (Koran Tempo, 11/06/02).
Sekitar bulan Mei 2002, nelayan tradisional di Teunom Aceh Barat mengancam akan memerangi nelayan luar yang melakukan penjarahan di daerah tangkapan nelayan tradisional. Mereka menganggap aksi yang dilakukan kapal-kapal luar tersebut tidak bisa ditolerir lagi. Nelayan asing kerap mengkasari nelayan tradisional. Pada 29 April 2002, kapal ikan Thailand menabrak kapal nelayan di Suak Ulee, Kecamatan Samatiga. Tragedi itu berlangsung sekitar delapan mil dari pantai. Pada Maret 2002, Panglima Laot Aceh Barat juga melaporkan bahwa nelayan tradisional berpapasan dengan sekawanan kapal ikan Thailand. Jaraknya sekitar enam mil dari pantai. (Waspada, 04/07/02).
Pada pertengahan 2007, Panglima Laot Aceh kembali menyatakan perang terhadap trawl. Nelayan tradisional Aceh sangat dirugikan dengan adanya operasional pukat trawl di perairan Aceh, karena nelayan tradisional Aceh takut mendekat ke kapal trawl karena pemilik trawl itu sangat brutal. (Waspada, 25/06/07).
Sejumlah nelayan di Aceh Singkil, juga mengeluh karena mengganasnya operasi trawl telah merusak alat tangkap mereka, sekaligus diklaim merusak daerah tangkapan mereka yang akan mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan tradisional. Aktivitas pukat trawl, beroperasi di zona tangkap nelayan tradisional. Mengenai hal ini, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Aceh Singkil telah membuat pengaduan kepada Pemerintah, tapi belum ada tanggapan. Bahkan terkesan operasi trawl tanpa ada larangan dari pihak manapun (Serambi Indonesia, 22/02/2008). Sebelumnya, nelayan Aceh Singkil melihat sekawanan (sekitar 25) kapal pukat trawl yang diduga dari Sibolga Sumatera Utara dioperasikan di perairan Singkil. (Harian Aceh, 16/07/07).
Di perairan Aceh Timur, trawl juga menjadi salah satu yang menggelisahkan nelayan di sana. Hal yang sama dialami nelayan di kawasan Aceh Barat Daya. Nelayan luar daerah dan negara asing, khususnya dari Sibolga dan Thailand, dilaporkan telah menguras ikan di kawasan perairan Aceh Barat Daya. Sementara nelayan setempat hanya bisa pasrah lantaran peralatan tangkap yang digunakan kalah bersaing dengan nelayan luar. Kapal luar tersebut tidak mengalami hambatan siang malam beroperasi kurang dari empat mil dari garis pantai. (Serambi Indonesia, 02/07/07).
Pada tanggal 14 Juli 2007 dini hari, wartawan Harian Aceh bersama seorang nelayan memantau langsung sejumlah pukat harimau dari jarak sekitar 200 meter di lepas pantai di pantai selatan. Ada empat pukat harimau yang dipantau secara sembunyi-sembunyi ketika alat itu sedang dioperasikan. (Harian Aceh, 16/07/07). Di Aceh Barat, nelayan tradisional di Meulaboh menjelaskan aksi penangkapan besar-besaran dilakukan di perairan Aceh Barat oleh kapal luar Aceh. Boat luar sangat meresahkan, sementara penertiban sangat jarang dilakukan. (Serambi Indonesia, 18/07/07).
Pukat harimau mengganas di perairan Kabupaten Aceh Singkil. Akibatnya, nelayan tradisional di Kecamatan Singkil Utara, Singkil, Kuala Baru, dan Pulau Banyak mengeluh karena pukat harimau telah merusak alat tangkap yang mereka miliki. Aktivitas pukat harimau, bukan hanya di lautan dalam, tapi pukat juga beroperasi di zona tangkap nelayan tradisional, sehingga hal ini betul-betul sangat merugikan masyarakat nelayan. Menurut Rosmah Hasmy, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Aceh Singkil yang juga seorang anggota DPRD Aceh Singkil, menyebutkan bebasnya pukat harimau beroperasi di perairan Aceh Singkil diduga ada keterlibatan oknum aparat, karena sampai saat ini pukat harimau tersebut terus bebas beroperasi di perairan Aceh Singkil tanpa ada larangan dari pihak manapun. (Serambi Indonesia, 22/02/2008).
Pada pertemuan seluruh Panglima Laot pantai barat (Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Simeulue), April 2008, Lembaga Adat Laot menegaskan kembali penolakannya terhadap trawl. Pukat trawl bisa merusak ekosistem sumberdaya kelautan, juga dikaitkan dengan kondisi di Aceh, di mana pukat trawl sangat berperan dalam menghancurkan ekosistem sumberdaya laut Aceh. (Serambi Indonesia, 18 Maret 2008).
Sebenarnya Pemkab Nagan Raya pernah meminta seluruh nelayan di wilayah itu segera menghapus penggunaan alat tangkapan ikan yang menggunakan jaring trawl atau cara lain yang bisa merusak ekosistem di laut. Pengelolaan secara baik harus dilakukan untuk memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sehingga ekosistem laut akan selalu terpelihara dengan baik. Jika menggunakan alat tangkapan ikan yang tak ramah lingkungan atau alat tangkap yang dilarang, maka hal itu akan merusak segala apek kehidupan yang ada dilautan luas. Selain itu, lingkungan juga akan rusak sehingga akan berakibat fatal bagi manusia dan akan terjadinya bencana karena dampak dari penggunaan alat tangkap itu akan merusak lingkungan. (Serambi Indonesia, 31/12/2008).
Kenyataan tersebut, menggambarkan betapa kegelisahan nelayan tradisional di Aceh karena beroperasi trawl. Namun ada pertanyaan, siapa sebenarnya nelayan tradisional?
Siapa Nelayan Tradisional
Dalam penelitian tentang “Perlindungan Nelayan Tradisional Aceh dari Kepungan Trawl” (Sulaiman Tripa, 2008), saya menelusuri dari berbagai ketentuan perundang-undangan tentang “nelayan tradisional”.
Istilah “nelayan tradisional” ditemukan dalam Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Dalam Pasal 1 ayat (24), disebutkan bahwa “Nelayan tradisional adalah nelayan yang menggantungkan seluruh hidupnya dari kegiatan penangkapan ikan, dilakukan secara turun-temurun dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana.”
Dari pengertian ini jelas, bahwa nelayan tradisional diukur dengan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan, serta aktivitas penangkapan ikan itu dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana. Dalam melakukan aktivitasnya, nelayan tradisional tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha perikanan (Pasal 10 ayat (2)).
Nelayan tradisional di Aceh merupakan salah satu komponen penting dalam usaha pengelolaan perikanan di Aceh. Sumberdaya perikanan dilakukan pengelolaan dengan tujuan tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, terutama nelayan (Pasal 12 ayat (1)). Hal ini juga dimaksudkan sebagai usaha percepatan pembangunan di daerah.
Harapan tersebut, senada dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut secara tegas diinginkan bahwa pelaksanaan penguasaan negara atas sumber daya kelautan dan perikanan diarahkan pada tercapainya manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diserahi kewenangan melakukan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dengan menempatkan kemakmuran rakyat sebagai arah dan tujuan yang hendak dicapai, terutama kemakmuran masyarakat nelayan di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan tersebut harus mampu diwujudkan keadilan dan pemerataan, termasuk memperbaiki kehidupan nelayan tradisional (kecil) dan petani ikan kecil serta pemajuan desa-desa pantai.
Pasal 16 Qanun Nomor 16 Tahun 2002, menyebutkan bahwa “Pemerintah Provinsi mendorong, menggerakkan, membantu, memberdayakan dan melindungi usaha perikanan tradisional dan melindungi pembudidaya ikan berskala kecil, terutama melalui koperasi, lembaga adat, dan bentuk pemberdayaan ekonomi dan nelayan lainnya.”
Berbeda dengan Qanun Nomor 16 Tahun 2002 yang dengan tegas menggunakan istilah “nelayan tradisional”, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menggunakan istilah “nelayan kecil”. Dalam Pasal 1 ayat (11) disebutkan bahwa “Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.” Dalam Pasal 61 ayat (1) disebutkan “Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.”
Kegiatan pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan (Pasal 2). Salah satu tujuan penting dari pengelolaan perikanan adalah meningkatkan taraf hidup nelayan kecil (Pasal 3).
Dalam UU Perikanan juga ditekankan tentang pengelolaan perikanan yang optimal, berkelanjutan, dan terjamin kelestarian sumberdaya ikan, dengan mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal, dan memperhatikan peran serta masyarakat (Pasal 6).
Dalam konteks pengelolaan, sebagaimana Pasal 7 UU Perikanan, Menteri menetapkan jenis, jumlah, ukuran alat penangkapan ikan; jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; dan daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; di mana setiap orang wajib memenuhi ketentuan tersebut.
Di Indonesia dengan tegas dilarang penggunaan alat penangkapan ikan yang dilarang (Pasal 9 huruf (c)). Menurut Penjelasan Pasal 9 UU Perikanan, disebutkan: ”Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.”
Sejak Tahun 1980, Pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Trawl. Keluarnya Keppres ini dengan sendirinya “mengharamkan” penggunaan pukat trawl di Indonesia. Dalam Keppres tersebut diatur mengenai penghapusan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring trawl secara bertahap, yakni terhitung 1 Juli 1980 sampai 1 Juli 1981, kapal perikanan yang mempergunakan jaring trawl dikurangi jumlahnya. Dalam Keppres juga diatur bahwa ketentuan mengenai perincian jaring trawl dan penghapusan/pengurangan kapal trawl diatur dengan Keputusan Menteri Pertanian.
Istilah “menggunakan” pukat trawl ini, oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1988, dimaksudkan sebagai tindak pidana yang mencakup perbuatan “membawa”, “menguasai (membawa, menyimpan, menggunakan)”, serta “memperdagangkan” jaring trawl.
Sebagaimana disebutkan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 bahwa pengaturan tentang jalur penangkapan ikan diatur dengan Keputusan Menteri Pertanian. Ada dua Keputusan Menteri Pertanian dalam hal ini, yakni Keputusan Menteri Pertanian Nomor 694 Tahun 1980, dan Keputusan Menteri Nomor 392 Tahun 1999 –sebagai pengganti Keputusan Nomor 694 Tahun 1980.
Dalam SK Menteri Pertanian Nomor 503/KPTS/UM/7/1980 mendefinisikan trawl sebagai jenis jaring yang berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan menggunakan sebuah alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board) dan jaring yang ditarik oleh dua kapal bermotor. Jenis jaring trawl dikenal dengan nama pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring tarik, jaring tarik ikan, pukat Apollo, serta pukat langgai.
Dalam Keputusan Nomor 694 Tahun 1980, diatur tiga hal penting, yakni: Pertama, Semua usaha perikanan yang kapal perikanannya menggunakan jaring trawl dilarang melakukan penangkapan ikan: (a) terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1980 di perairan laut yang mengelilingi pulau Jawa dan Bali dengan batas titik-titik koordinat sebelah Timur (garis bujur 116º30' BT), sebelah Utara (garis lintang 5º LS sampai garis bujur 106º BT), sebelah Barat (garis lurus yang menghubungkan 2 titik: 5º30' LS dan 160º20' BT 6º40' LS sampai dengan garis bujur 106º20' BT; 105 BT. (b). terhitung mulai tanggal 1 Januari 1981 di perairan laut yang mengelilingi pulau Sumatera dengan batas titik-titik koordinat garis bujur 109º40' BT sampai dengan garis lintang 2º LU; garis lintang 2º LU; garis bujur 108º BT dari 2º LU s/d 2º LS; garis lintang 2º LS; garis bujur 109º BT dari 2º LS s/d 5º LS; garis lintang 5º LS; garis bujur 116º30' BT.
Kedua, Semua usaha perikanan dilarang melakukan pengangkutan ikan dengan kapal-kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl: (a) ke pulau Jawa dan Bali terhitung sejak tanggal 1 Oktober 1980; dan (b) ke pulau Sumatera terhitung sejak tanggal 1 Januari 1983.
Ketiga, Kapal-kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl yang melanggar ketentuan-ketentuan di atas dipersamakan dengan kapal perikanan yang tidak memiliki SIUP/SKIP dan dapat dikenakan ketentuan pasal 8 Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980. Dikecualikan dari ketentuan-ketentuan di atas, ialah kapal-kapal latih dan kapal-kapal penelitian milik Pemerintah.
Dalam Keputusan Menteri Nomor 392 Tahun 1999 –sebagai pengganti Keputusan Nomor 694 Tahun 1980, disebutkan bahwa daerah penangkapan ikan di laut terbagi atas tiga jalur penangkapan, yakni: Pertama, jalur penangkapan ikan yang meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut. Kedua, jalur penangkapan ikan yang meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan I sampai dengan 12 mil laut ke arah laut. Ketiga, jalur penangkapan ikan meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan ikan II sampai dengan batas terluar ZEEI.
Jalur Penangkapan I dialokasikan untuk kapal tanpa motor atau bermotor dengan ukuran maksimal 5 GT, Jalur Penangkapan II untuk kapal bermotor dengan ukuran maksimal 60 GT dan Jalur III diperuntukkan bagi kapal bermotor dengan ukuran lebih besar dari 60 GT.
Sebelum lahirnya Keppres No. 39/1980, pengaturan jalur penangkapan ikan juga sudah diatur dengan SK Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976. Pertimbangan dikeluarkan SK ini adalah untuk melindungi pelestarian dan daerah perairan dari kegiatan penangkaran yang menggunakan jenis peralatan tertentu, serta melindungi nelayan kecil yang tingkat kemampuan operasional unit penangkapannya masih terbatas.
Dalam SK No. 607/KPTS/UM/9/1976, ditentukan sejumlah ketentuan, antara lain: (a) Jalur Penangkapan I, adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang diukur dari titik terendah pada waktu air surut; (b) Jalur Penangkapan II, adalah perairan selebar 4 mil laut yang diatur dari garis luar jalur penangkapan I; (c) Jalur Penangkapan III, adalah perairan selebar 5 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan II; (d) Jalur Penangkapan IV, adalah perairan diluar jalur penangkapan III. Kedua, Penangkapan kapal dan alat penangkapan pada masing-masing Jalur Penangkapan diatur sebagai berikut: (I) Jalur Penangkapan I tertutup bagi: (1) Kapal Penangkapan ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 5 GT atau kapal penangkap ikan bermesin dalam yang berkekuatan di atas 10 Daya Kuda (DK); (2) Semua jenis jaring trawl (beam trawl, otter trawl dan pair (bull) trawl); (3) Jaring (pukat) cincin/kolor/langgar dan sejenisnya (purse seine); (4) Jaring (pukat) lingkar (encircling gill net) dan jaring (pukat) hanyut tongkol (drift gill net); (5) Jaring (pukat) payang/dogol/cantrang/lampara/banting di atas 120 meter panjang rentangan dari ujung sayap/kaki yang satu keujung yang lain. (II) Jalur Penangkapan II tertutup bagi: (1) Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 25 GT atau kapal penangkap ikan bermesin dalam yang berkekuatan di atas 50 DK; (2) Jaring trawl dasar berpanel (otterboard) yang panjang tali ris atas/bawahnya di atas 12 meter; (3) Jaring trawl melayang (mid-water trawl atau pelagio trawl) dan pair (bull) trawl (jaring trawl yang ditarik dengan dua kapal); (4) Jaring (pukat) cincin/kolor/langgar dan sejenisnya yang panjangnya diatas 300 meter. (III) Jalur Penangkapan III tertutup bagi: (1) Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 100 GT atau kapal penangkap ikan bermesin dalam yang berukuran di atas 200 DK; (2) Jaring trawl dasar dan melayang berpanel (otterboard) yang panjang tali ris atas/bawahnya diatas 20 meter; (3) Pair (bull) trawl; (4) Jaring (pukat) cincin/kolor/langgar dan sejenisnya yang panjangnya diatas 600 meter. (IV) Jalur Penangkapan IV terbuka bagi: Semua jenis kapal dan alat penangkapan yang sah, terkecuali pair (bull) trawl hanya boleh beroperasi di perairan Samudra Indonesia. Ketiga, Semua jaring yang ukuran matanya kurang dari 25 mm dan purse seine cakalang (tuna) yang ukuran matanya kurang dari 60 mm dilarang untuk dipergunakan disemua Jalur Penangkapan. Sementara, di perairan Selat Madura dan Selat Bali tertutup bagi penggunaan beam trawl, otter trawl, bull (pair) trawl untuk penangkapan ikan dasar atau pelagis. Keempat, Dikecualikan dari ketentuan termaksud pada amar Kedua dan Keempat di atas ialah: "Kapal-kapal bermotor penangkap ikan yang melakukan kegiatan dalam rangka tugas-tugas Direktorat Jenderal Perikanan, Dinas-dinas Perikanan Daerah dan Badan-badan Ilmiah lainnya dengan persetujuan Direktorat Jenderal Perikanan dalam melaksanakan latihan penangkapan, penelitian/eksploitasi khusus untuk menunjang pembangunan perikanan".
Pengaturan tentang jalur penangkapan ikan, pada dasarnya adalah cermin dari keberpihakan terhadap nelayan tradisional. Hal ini kemudian bertambah dengan larangan trawl. Bila menelusuri sejarah pengaturan trawl, maka jelas ada dua alasan utama yang menyebabkan trawl dilarang: (1) mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional; (2) menghindari sengketa-sengketa dalam pengelolaan perikanan.
Dalam hal ini, pelarangan pukat trawl adalah landasan filosofis tertinggi dalam rangka mewujudkan keadilan sebenarnya bagi nelayan. Konsep kesejahteraan di sini adalah mencakup materil dan immateril. Konsep kesejahteraan dalam makna luas, sesuai konsep negara kesejahteraan sebagaimana Pasal 33 UUD 1945.
Geliat perlawanan
Penolakan terhadap trawl sudah dilakukan sejak lama. Setiap ada pertemuan Panglima Laot, selalu saja melahirkan salah satu rekomendasi tentang penolakan terhadap trawl.
Sekitar bulan Mei 2002, nelayan tradisional di Teunom Aceh Barat mengancam akan memerangi nelayan luar yang melakukan penjarahan di daerah tangkapan nelayan tradisional. Mereka menganggap aksi yang dilakukan kapal-kapal luar tersebut tidak bisa ditolerir lagi.
Sekitar bulan Mei 2002, nelayan tradisional di Teunom Aceh Barat mengancam akan memerangi nelayan luar yang melakukan penjarahan di daerah tangkapan nelayan tradisional. Mereka menganggap aksi yang dilakukan kapal-kapal luar tersebut tidak bisa ditolerir lagi.
Penolakan kapal trawl juga pernah disampaikan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Aceh, serta menolak usaha mendatangkan kapal Thailand ke Aceh. Bila Pemerintah ingin membantu nelayan tradisional, adalah dengan cara memberdayakan masyarakat. Kehadiran trawl akan memunculkan konflik baru (Waspada, 04/07/02).
Kasus-kasus yang disebutkan menampakkan bahwa ada peningkatan konflik antara masyarakat lokal dengan nelayan luar, juga antara nelayan trawl dan non trawl.
Sudah beberapa kali nelayan tradisional Aceh melakukan ’unjuk rasa’ terhadap keberadaan trawl di Aceh. Hal ini berpotensi menjadi konflik di laut, antara nelayan non trawl dengan nelayan trawl. Gejala konflik sudah mulai terasa akhir-akhir ini. Setidaknya terlihat dari geliat nelayan tradisional Aceh tersebut.
Pertama, sebanyak 20 unit boat yang menggunakan alat tangkap trawl atau yang sering disebut pukat harimau ditangkap paksa oleh puluhan nelayan tradisional di perairan Suak Seumaseh, Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, Sabtu (27/12/08). Sebelumnya sudah diperingatkan agar mereka tidak menggunakan pukat harimau dalam beroperasi mencari ikan di wilayah nelayan tradisional. Penangkapan yang dilakukan itu dalam upaya memberantas pukat harimau yang kini semakin marak digunakan oleh sebagian pengusaha (nelayan). Sebelumnya sudah dilakukan pertemuan di Kantor Bupati Aceh Barat disepakati pukat harimau tidak diperbolehkan digunakan sebagai alat tangkap ikan karena sejumlah faktor dan memang dilarang. (Serambi Indonesia, 28/12/08).
Kedua, ratusan nelayan tradisional dari Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, dilengkapi 40 unit boat, Minggu (04/01/09) pagi melakukan razia besar-besaran di perairan laut Kecamatan Johan Pahlawan. Mereka berhasil menangkap 15 boat milik nelayan lokal yang mengunakan alat tangkap trawl (pukat harimau). Akibat aksi penangkapan itu, nyaris terjadi bentrokan antara dua kubu nelayan yang anti dengan pro-trawl, namun cepat dilerai dan ditangani oleh aparat keamanan dari polres setempat dan TNI-AL. Penangkapan tersebut tidak diterima oleh nelayan yang trawlnya ditangkap. Dengan dibantu ratusan nelayan dari Kecamatan Johan Pahlawan, terutama nelayan dari Padang Seurahet, Panggong, Pasir, dan Ujong Kalak, mereka melakukan aksi balasan dengan menghadang nelayan Meureubo di muara Padang Seurahet. Muara itu merupakan jalur nelayan setempat melintas dari sungai menuju laut lepas. Karena aksi balasan itu cepat diantisipasi oleh aparat keamanan dari Polres Aceh Barat dan TNI-AL Pos Meulaboh, sehingga bentrok antardua kubu itu berhasil dicegah. (Serambi Indonesia, 05/01/09).
Ketiga, puluhan nelayan tradisional Lhok Meulaboh hampir bentrok dengan awak pukat harimau yang datang dari Lhok Tapak Tuan karena diduga mereka mengunakan pukat harimau. Dalam dakwa-dakwi, awak trawl mengaku menggunakan pukat tersebut sejauh 7 mil. Sedangkan saat itu mereka hanya singgah di TPI saja. Namun suasana seperti itu, dapat dikendalikan oleh Satpol Air Polres Aceh Barat dan Pos AL yang datang ke lokasi. (Harian Waspada, 02/02/09)
Keempat, sebanyak 50 nelayan tradisional dengan enam perahu melakukan operasi dengan cara sendiri. Mereka mengamuk dan membakar satu unit kapal trawl bernama Camar Pu dengan nomor selar 1100PPA dari Belawan dan menangkap 10 awaknya, Jumat (19/12/08). Menurut laporan, sebanyak delapan unit kapal trawl beroperasi sejak 8 Desember 2008 di perairan Kuala Peunaga, Kecamatan Sungaiyu, Aceh Tamiang. (Serambi Indonesia,
0/12/08).
Kelima, pada tanggal 21 Januari 2008, sekelompok nelayan di Seuriget (wilayah Ujong Perling) menangkap kapal pukat langge. Pukat itu memiliki rantai, papan, dan ukuran mata jaring yang setengah inci, dengan trawl dua inci. Pukat ini sudah pernah disepakati nelayan di sana pada 28 Desember 2007 dilarang beroperasi di kawasan Perairan Kuala Langsa. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Langsa, Cut Yusminar mengatakan pukat langge melanggar Keppres Nomor 39 Tahun 1980. Salah seorang yang menggunakan pukat langge mengatakan selama ini mereka beroperasi di luar perairan Langsa, namun selama ini banyak masuk kapal katrol dari Belawan ke Kuala Langsa, hingga mereka harus bergeser (Serambi Indonesia, 23/01/08).
Kelima, pada tanggal 21 Januari 2008, sekelompok nelayan di Seuriget (wilayah Ujong Perling) menangkap kapal pukat langge. Pukat itu memiliki rantai, papan, dan ukuran mata jaring yang setengah inci, dengan trawl dua inci. Pukat ini sudah pernah disepakati nelayan di sana pada 28 Desember 2007 dilarang beroperasi di kawasan Perairan Kuala Langsa. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Langsa, Cut Yusminar mengatakan pukat langge melanggar Keppres Nomor 39 Tahun 1980. Salah seorang yang menggunakan pukat langge mengatakan selama ini mereka beroperasi di luar perairan Langsa, namun selama ini banyak masuk kapal katrol dari Belawan ke Kuala Langsa, hingga mereka harus bergeser (Serambi Indonesia, 23/01/08).
Dengan gambaran tersebut, paling tidak sudah terlihat sebuah kenyataan tentang fenomena trawl di Aceh. Pukat yang dibenci ini tak hanya dipakai oleh kapal asing. Trawl juga dipakai oleh sebagian kecil nelayan Aceh sendiri. Masalahnya adalah mengapa penggunaan trawl bisa berlangsung terus-menerus, padahal jelas penggunaan trawl itu melanggar peraturan perundang-undangan?
Dalam satu pertemuan Panglima Laot Aceh (9 Desember 2007), Dinas Kelautan dan Perikanan mengatakan, pihaknya tidak bisa menghindari masalah illegal fishing, karena itu terjadi di Aceh dan membutuhkan kerjasama lintas dinas atau badan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sedangkan dalam Fisheris Forum yang dilaksanakan Panglima Laot Aceh (13 Februari 2006), Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, menyebutkan adanya praktek illegal fishing akibat rendahnya tingkat pengawasan serta belum tersedianya data dan informasi sumberdaya kelautan dan perikanan pascagempa bumi dan tsunami (Sulaiman Tripa, dkk, 2007; Sulaiman Tripa, 2008).
Pasca mengemka konflik nelayan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh dan Panglima Laot Aceh mengadakan pertemuan membahas persoalan tersebut. Menghindari bentrok yang akhir-akhir ini kerap terjadi antar nelayan di sejumlah daerah, ditawarkan bahwa Pemerintah Aceh perlu mengeluarkan peraturan gubernur (Pergub). Mengingat hingga kini belum ada qanun tentang kelautan dan perikanan Aceh untuk menjabarkan isi UU Pemerintah Aceh sesuai dengan adat dan istiadat laut Aceh. Konflik laut yang terjadi akhir-akhir ini, disebabkan berbagai faktor. Salah satu yang sangat tajam dan sering melibatkan nelayan luar Aceh dan asing - karena masih ada pro dan kontra mengenai boleh atau tidaknya menggunakan pukat trawl. Padahal sangat jelas undang-undang melarang keras nelayan menggunakan pukat harimau, karena bisa merusak lingkungan dan mematikan bibit ikan. Lalu kenapa masih ada nelayan lokal menggunakan pukat trawl? (Serambi Indonesia, 06/01/2009). Namun demikian, bila Pergub dimaksudkan hanya untuk menerangkan bahwa pukat trawl dilarang, maka akan kurang manfaatnya.
Masalah ini sudah demikian jelas. Nasib nelayan tradisional di Aceh belakangan ini sangat memprihatinkan. Beroperasinya pukat trawl harimau di wilayah yang seharusnya untuk nelayan tradisional sangat potensi menjadi konflik yang terus membesar.
Dalam ruang Salam Serambi (Serambi Indonesia, 06/01/2009), secara khusus disorot hal ini. Berkali-kali nelayan tradisional mengeluh gangguan itu kepada pemerintah, namun pukat trawl tetap saja tak terusik, bahkan semakin merajalela. Karena tak tahan atas gangguan itu, pekan lalu ratusan nelayan tradisional dari Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, melakukan razia besar-besaran di perairan laut Kecamatan Johan Pahlawan. Mereka berhasil menangkap 15 boat milik nelayan lokal yang mengunakan alat tangkap trawl. Dalam aksi penangkapan itu, nyaris terjadi bentrokan antara dua kubu nelayan yang anti dengan pro-trawl, namun cepat dilerai dan ditangani aparat keamanan dari polres setempat dan TNI-AL.
Kehadiran trawl sejak awal memang telah melahirkan konflik, terutama dengan nelayan tradisional. Dengan ukurannya yang panjang dan besar, pukat ini menguras semua isi laut sehingga nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana tidak lagi kebagian jatah. Lalu, pengoperasian pukat harimau juga diprotes para aktivis lingkungan hidup karena merusak terumbu karang dan kerusakan habitat ikan. Bahkan, dengan memberikan izin trawl, yang kian merajalela di laut kita bukan hanya trawl lokal, tapi kapal-kapal asing yang menyaru sebagai nelayan domestik atau lokal. (Serambi Indonesia, 06/01/2009).
Panglima Laot Aceh juga meminta kepada pihak keamanan untuk menertibkan alat tangkap trawl yang beroperasi di Aceh tanpa pandang bulu guna menghindari tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Selama ini terkesan kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap trawl bebas beroperasi di perairan Aceh, seperti tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum. (Serambi Indonesia, 21/12/2008).
Murizal Hamzah (Serambi Indonesia, 06/09/2008) menyebut kondisi ini dengan ”Damai di darat, perang di laut”. Menurutnya penggunaan trawl seperti di Aceh Jaya dan Aceh Barat sangat krusial. Nelayan mengetahui pelaku trawl, tapi tidak melarang karena bisa memantik konflik horizontal. ”Indonesia sudah melarang trawl, namun prakteknya tak semudah membalik telapak tangan.”
Coordinator International Collective in Support of Fishworkers, John Kurien, dalam ”Damai di Laut dan Trawl” (Serambi Indonesia, 15/10/2008) mengungkapkan bahwa ia melihat penggunaan trawl mini sangat marak di Aceh Barat dan Nagan Raya. Secara ekonomi menguntungkan, tetapi akibat yang ditimbulkan cukup serius. Menurutnya, masalah ini tak bisa didiamkan. Perlu koordinasi dan penegakan hukum. ”Jika aparatur hukum lemah, dan tidak bisa menjerat para pemilik dan pelaku kejahatan di laut ini, maka dapat dipastikan implikasi ekonomi juga akan dirasakan oleh nelayan Aceh kecil secara keseluruhan.”
Pola penyelesaian
Walaupun sudah jelas melanggar UU, pada kenyataannya penyelesaian kasus juga sulit. Dalam kasus penangkapan 20 unit trawl asal Kuala Bubon dan Suak Timah di perairan Suak Seumaseh Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, misalnya, Polres Aceh Barat dan Satpol Air harus meminta petunjuk dari pimpinan untuk proses penyelesaiannya (Serambi Indonesia, 28/12/2008). Sebanyak 20 unit boat yang menggunakan alat tangkap trawl yang biasa disebut pukat harimau ditangkap pada (27/2), kemudian diserahkan pada pihak penegak hukum. Masyarakat berharap dengan adanya penangkapan ini ke depan tidak ada nelayan yang menggunakan trawl di Aceh Barat, sebab selama ini penggunaan trawl sangat marak dan melanggar UU. (Serambi Indonesia, 30/12/2008).
Di samping itu, jalan penyelesaian lain pun dilakukan. Berulangkali digelar pertemuan namun tidak ada titik temu. Hal ini menyangkut dengan tuntutan denda. Kedua pihak masih bersitegang dengan komitmen masing-masing. Yakni, pihak yang menangkap meminta supaya dibayar denda, dan alat tangkap trawl diserahkan kepada polisi karena penggunaan trawl sebagaimana pengakuan nelayan tidak dibenarkan. Sebaliknya, pihak pemilik boat warga Suak Timah dan Kuala Bubon menginginkan dibebaskan dan membayar denda sekedarnya, sebab setelah penahanan boat itu tidak bisa mengais rezeki. Dia mengatakan langkah itu diserahkan ke Muspida guna menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebab, dikhawatirkan dapat menimbulkan saling pukul, apalagi mengingat boat-boat itu masih ditahan nelayan di Suak Seumaseh. (Serambi Indonesia, 04/01/2009). Akhirnya kesepakatan dicapai dengan penyelesaian secara damai. Boat yang ditangkap itu dilepas dengan denda Rp 500 ribu. Uang denda tersebut disumbangkan untuk membangun Masjid Suak Seumaseh. Sedangkan trawl diamankan Muspika Samatiga sebagai barang bukti. Boat sudah dilepaskan dan mereka sepakat bahwa ke depan tidak dibenarkan lagi menggunakan trawl dalam menangkap ikan. (Serambi Indonesia, 05/01/2009).
Pertemuan terakhir tersebut juga melahirkan tujuh kesepakatan. Di antaranya, perselisihan antarkedua kelompok nelayan diselesaikan secara damai. Selain itu, nelayan dan kepala DKP setempat mendesak DPRK untuk memroses dan memfasilitasi pengantian alat tangkap dari trawl ke jenis lain yang dibenarkan. Disepakati pula bahwa sejak 5 Januari 2009 tidak dibenarkan lagi penggunaan pukat trawl di perairan Aceh Barat. (Serambi Indonesia, 05/01/2009).
Sehari berselang, sejumlah perwakilan nelayan mendatangi DPRK setempat. Mereka menuntut Pemkab dan dewan membantu alat tangkap untuk mereka sebagai penganti trawl. Sebab, pascapenangkapan trawl pada Minggu (4/1) telah disepakati bahwa alat tangkap akan dibantu sebagai penganti trawl. Mereka mengaku alat tangkap yang mereka gunakan tidak dibenarkan lagi. Dan pascatidak dibenarkan gunakan lagi, nelayan sangat mengeluh dan berharap alat tangkap penganti dapat segera dibantu. Polres sendiri segera akan membentuk tim terpadu guna menertibkan semua pukat harimau (trawl) pada nelayan (Serambi Indonesia, 06/01/2009). Hal ini sudah pernah dinyatakan juga oleh Pemkab Aceh Barat, bahwa akan dibentuk Tim Terpadu untuk melakukan razia terhadap penggunaan trawl (pukat harimau). Tim ini merupakan gabungan dari sejumlah instasi terkait baik dari Pemkab, polisi, TNI serta lembaga lain akan melakukan menyita trawl. Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat dalam proses persiapan pengadaan/lelang 350 alat tangkap yang ramah lingkungan untuk nelayan yang selama ini menggunakan trawl. Dalam proses penyaluran akan dilakukan sistem tukar. Pukat trawl ditarik untuk dimusnakan dan langsung diberikan alat tangkap ramah lingkungan. (Serambi Indonesia, 15/01/2009).
Dalam kasus di Langsa, penyelesaian kasus yang terjadi dalam hal penggunaan alat tangkap, adalah mendudukkan pihak-pihak yang berwenang seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Syahbandar, Airud, Panglima Laot, dan nelayan membicarakan solusinya. Berbagai pihak yang bersangkutan kemudian turun ke lapangan untuk membuktikan laporan itu secara langsung yang disampaikan dengan pengakuan. Kasus tersebut terjadi pada tanggal 21 Januari 2008, sekelompok nelayan di Seuriget (wilayah Ujong Perling) menangkap kapal pukat langge. Pukat itu memiliki rantai, papan, dan ukuran mata jaring yang setengah inci, dengan trawl dua inci. Pukat ini sudah pernah disepakati nelayan di sana pada 28 Desember 2007 dilarang beroperasi di kawasan Perairan Kuala Langsa. (Serambi Indonesia, 23/01/2008).
Masalah yang didapati antar nelayan cenderung mudah diselesaikan. Akan tetapi mengenai masalah nelayan dari luar, mengalami masalah tersendiri. Ada dua kelompok yang selama ini dirasakan nelayan, yakni kelompok kapal yang legal, merea memiliki surat izin dari lembaga terkait untuk mengambil ikan di perairan Aceh, namun kelompok ini tidak memperhatikan batasan-batasan otonomi adat laot. Kelompok lainnya adalah yang selama ini menjarah ikan secara illegal, baik yang menggunakan trawl maupun yang masuk dengan illegal. Ada kapal juga yang memperoleh izin menggunakan kapal trawl.
Khusus kasus di Aceh Tamiang, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh Tamiang, Drh Sofyan mengimbau agar nelayan di daerah itu tidak melakukan tindak kekerasan dalam menangani persoalan boat katrol (pukat harimau) milik nelayan Sumtera Utara yang beroperasi di daerah itu. Menurutnya, kalau memang ada boat katrol yang mengganggu perairan Aceh Tamiang, segera melaporkan kepada pihak terkait. Namun seorang warga nelayan menyampaikan bahwa keberadaan boat katrol sudah sangat mengganas di perairan Aceh Tamiang. Akibatnya nelayan tradisional kehabisan akal memperoleh ikan di laut. Kondisi itu mendorong para nelayan setempat melakukan pembakaran boat katrol yang kedapatan sedang menangkap ikan di perairan laut Aceh Tamiang. (Serambi Indonesia, 05/01/2009).
Ditpolair NAD terus meningkatkan kewaspadaan dengan mendirikan sejumlah pos pengaman di sepanjang pantai Aceh. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pelanggaran laut seperti penggunaan pukat trawl yang terjadi belum lama ini di Meulaboh. Mereka telah mendirikan pos-pos pengaman di sejumlah tempat strategis seperti di Ulee Lheu, Krueng Cut, termasuk di tempat-tempat setrategis di seluruh perairan Aceh, yakni Pantai Utara, Timur, Barat dan Selatan. Setiap pos ditempati oleh sepuluh personel polair yang bekerjasama dengan personel polres setempat. (Serambi Indonesia, 14/01/2009).
Kendala penegakan hokum
Ada beberapa kendala penegakan hukum dalam konteks trawl ini, yakni: Pertama, dalam lingkup kebijakan. Pemerintah tidak menindak tegas para pengguna trawl bila tidak ada tekanan. Di Aceh sudah lama berlangsung trawl, namun penangkapan terhadap trawl masih bisa dihitung dengan jari. Beberapa kali penangkapan juga masih menyentuh yang kelas teri.
Faktor kebijakan yang tidak sinergis juga menjadi penyebab. Di Indonesia, di kawasan tertentu, terutama perbatasan, pernah diizinkan menggunakan trawl. Hal ini tentu menimbulkan efek negatif ke wilayah sekitarnya. Di samping itu, pemberian izin juga melawan undang-undang, yang berarti pengambil kebijakan sendiri dengan kebijakannya melakukan kebijakan yang melanggar.
Kedua, sarana. Dalam sebuah penelitian ”Pelaksanaan Hukom Adat Laot dalam Pengelolaan Perikanan di Aceh” (Lemlit Unsyiah, 2008), saya menemukan kendala yang dihadapi aparat penegak hukum adalah kapal patroli yang sangat sedikit. Misalnya Lan Tamal Lhokseumawe hanya memiliki lima kapal patroli untuk mengamankan wilayah dari Pidie hingga ke Pangkalan Susu.
Ketiga, faktor koordinasi. Koordinator Persatuan Masyarakat Pesisir Dunia, John Kurien, menawarkan konsep ko manajemen untuk melakukan koordinasi tersebut. (Serambi Indonesia, 23/05/2007).
Pada kenyataannya, sebagaimana telah dijelaskan bagian sebelumnya, kasus trawl di Aceh antara lain disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Hal antara lain diukur dengan sedikitnya kasus ini yang sampai ke pengadilan.
Perkembangan meluasnya operasi trawl di Aceh merupakan rangkaian oleh tidak ketatnya Pemerintah melakukan pengawasan dan penegakan hukum. Keadaan ini sangat berdampak pada nelayan tradisional. Upaya patroli pun terkesan kurang. Dalam Pertemuan Panglima Laot se-Aceh Juni 2001, dengan tegas meminta Pemerintah mengencarkan patroli untuk memberi perlindungan kepada nelayan tradisional (Dokumen Pertemuan Panglima Laot Aceh, 19-20 Juni 2001).
Dalam pertemuan tersebut, Panglima Laot se-Aceh juga dengan tegas menolak trawl, agar sumberdaya perikanan bisa berkelanjutan. Pernah ada kejadian Perusahaan Daerah Pembangunan Sabang menandatangani perjanjian dengan beberapa investor asing untuk mengoperasikan kapal trawl di kawasan tersebut, Panglima Laot Aceh dengan tegas menolak.
Pengaturan –tepatnya perlindungan terhadap pukat trawl di Indonesia, menjadi salah satu hal yang sangat penting dilakukan. Namun dalam pelaksanaannya, hal ini kemudian dihantui oleh kebijakan perikanan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi.
Sasaran pembangunan ekonomi dalam dua dekade ini, diarahkan untuk meningkatkan pendapatan perkapital mencapai US$ 6.000. Pengembangan industri berbasis sumberdaya alam adalah hal penting, dengan memperhatikan efisiensi, rasionalitas, dan memperhatikan daya dukung. Pengembangan industri tersebut, diarahkan salah satunya kepada industri berbasis pertanian dan kelautan.
Dalam hal ini, modernisasi adalah salah satu faktor penting. Proses ini terkait dengan konsep perdagangan dan investasi, yang berujung kepada perkuatan daya saing global.
Pada masa depan, benturan kebijakan antara kepentingan nelayan kecil di satu pihak dengan kepentingan pembangunan ekonomi, haruslah dihindari. Kepentingan ekonomi harus mengedepankan kepentingan nelayan kecil, dan tidak mengenyampingkan kepentingan aturan hukum pelarangan trawl.
Dalam hal ini, tujuan pengentasan kemiskinan sebagaimana yang dimaksudkan dalam peluang menarik investor dan kebijakan ekonomi, sebenarnya akan terselesaikan bila benar-benar nelayan kecil dilindungi. Kemiskinan paling besar terdapat pada komunitas nelayan, maka mengentaskan kemiskinan, logikanya adalah dengan melindungi kawasan tangkapan mereka untuk mendapatkan pendapatan mereka yang baik dalam kehidupan keseharian.[]
sumber:
Sulaiman Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Hak Cipta Terlindungi © Copyrights by The Aceh Institute | Dilarang keras mengutip, mengacu, mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan isi website ini tanpa seizin penulis asli dan "Aceh Institute" sebagai sumber.