Jenis burung pleci (kacamata) kini memang tengah jadi primadona. Nyaris setiap pelosok kota keranjingan alias demam pleci. Para pemain, tak hanya pemula bahkan pelomba kawakan pun tak risih lagi menenteng burung ini di lapangan. Mereka bangga tatkala gaconya di jenis ini jadi juara. Begitu pamornya naik, pleci pun naik tahta dan memiliki prestise tersendiri.
Kelasnya pun di lomba kini bukan sekadar pelengkap alias anak bawang, tapi sudah sejajar dengan jenis lain yang sebelumnya memiliki gengsi. Ini tak lain dikarenakan jenis pleci turut punya nilai jual bagi even organizer untuk menjaring peserta. Itu sebabnya pihak panitia kini minimal membuka 2 atau 3 kelas dalam setiap gelarannya.
“Sebenarnya, sudah sejak lama di Cina jenis pleci menduduki peringkat pertama, setelah itu hwamei, pailing, dan kacer,” ungkap Lee Ali importir sangkar dan aneka akesoris untuk pleci.
Di tanah air, khususnya di Jabodetabek baru hampir setahun belakangan ini popularitasnya terus merangkak naik. Tidak hanya di Latberan pinggiran hingga even besar, kelas pleci kerap dijubeli peserta.
Menariknya, umumnya mereka adalah para pemain kawakan yang sebelumnya dikenal sebagai pemilik burung kelas bergengsi seperti anis merah.
Di Jabodetabek misalnya, ada nama Hengky Bor yang memiliki gaco di kelas tersebut yang selalu malang-melintang di tangga juara. Nilai belinya, lumayan fantastis. Konon, bersama Mr Deded sejawatnya sudah puluhan juta rupiah harus mereka keluarkan untuk mendapatkan gacoan.
Bahkan, untuk Ozil salah satu jawara papan atas blok barat dia mengaku mentransfernya sebesar Rp 40 juta dan pemain Ciawi Bogor, sementara si Bola ditake-overnya di kisaran Rp 20 juta. Di luar itu masih ada sederet jawara lainnya.
Lantas, apa yang membuat mereka begitu berani men-take-over dengan nilai begitu tinggi? “Kenapa nggak? Sekarang lombanya ramai terus, hadiahnya besar dan tidak pernah dipotong karena gantangannya selalu full,” kata Hengky memberi alasan tentang minatnya berburu burung unggulan.
Alasan yang realtistis memang. Sejak dibeli beberapa bulan lalu, sang gaco sudah puluhan kali memetik kemenangan di beragam even penting. Kalau dihitung-hitung, dengan kondisi penampilan burung yang stabil di lapangan, belum setahun sebenarnya sudah balik modal.
Apalagi saat ini kelas pleci selalu ada di latberan maupun lomba yang digelar nyaris setiap hari. Dan, burung ini bisa turun atau main beberapa kali dalam sepekan. Bandingkan dengan burung lain, yang turun paling banter kuat satu atau dua kali dalam seminggu.
Mirip anis merah
Karakter pleci yang mirip-mirip anis merah, dan kebiasaannya ditrek dengan sesama jenisnya sebelum ke lapangan, membuatnya seperti peralihan dari anis merah ke pleci. Ya, rata-ratac mereka, pemain pleci, sebelumnya dikenal sebagai jawara anis merah.
Hengky Bor misalnya, dikenal sebagai pemilik jawara anis merah, kini mencoba fokus ke pleci. Demikian halnya dengan Renan dari Pleci Duta Kicau Mania (PDKM) sebuah komuntas khusus pleci di dunia maya, kini dia lebih merasa nyaman main di jenis pleci. “Ya, karena karà kternya ngggak beda jauh dengan anis merah,” ungkap Renan.
Kini tidak kurang dari 12 ekor pleci andalannya, bahkan salah satunya, Marjinal, kerap juara di beragam even.
Perawatannya yang relatif mudah ini yang membuatnya Iebih asyik main di jenis ini. “Kalau kita awalnya main di anis, terus ke pleci, itu lebih mudah,” ungkapnya.
Yang penting, burung memenuhi standar kualitas pakem yang diterapkan, berbunyi lebih lantang, duduk sambil ngerempel saat ketemu lawan di lapangan, yang diselingi materi isian seperti gereja tarung, kenarian, ciblekan dan beseten kolibri, sudah cukup jadi modal utamanya untuk turun gelanggang.
Tingginya minat pada burung pleci ini tampak dari tumbuhnya komunitas pleci dengan beragam macam bendera yang diusungnya. Bahkan, salah satu komunitas pleci di kawasan sunter yaitu Pleci 123 berani menggelar latber rutin tiap hari Sabtu di lapangan permanennya – kawasan Sunter Jakarta Utara. Semua khusus pleci, tidak ada jenis burung lain.
Sumber : http://omkicau.com/
Kelasnya pun di lomba kini bukan sekadar pelengkap alias anak bawang, tapi sudah sejajar dengan jenis lain yang sebelumnya memiliki gengsi. Ini tak lain dikarenakan jenis pleci turut punya nilai jual bagi even organizer untuk menjaring peserta. Itu sebabnya pihak panitia kini minimal membuka 2 atau 3 kelas dalam setiap gelarannya.
“Sebenarnya, sudah sejak lama di Cina jenis pleci menduduki peringkat pertama, setelah itu hwamei, pailing, dan kacer,” ungkap Lee Ali importir sangkar dan aneka akesoris untuk pleci.
Di tanah air, khususnya di Jabodetabek baru hampir setahun belakangan ini popularitasnya terus merangkak naik. Tidak hanya di Latberan pinggiran hingga even besar, kelas pleci kerap dijubeli peserta.
Menariknya, umumnya mereka adalah para pemain kawakan yang sebelumnya dikenal sebagai pemilik burung kelas bergengsi seperti anis merah.
Di Jabodetabek misalnya, ada nama Hengky Bor yang memiliki gaco di kelas tersebut yang selalu malang-melintang di tangga juara. Nilai belinya, lumayan fantastis. Konon, bersama Mr Deded sejawatnya sudah puluhan juta rupiah harus mereka keluarkan untuk mendapatkan gacoan.
Bahkan, untuk Ozil salah satu jawara papan atas blok barat dia mengaku mentransfernya sebesar Rp 40 juta dan pemain Ciawi Bogor, sementara si Bola ditake-overnya di kisaran Rp 20 juta. Di luar itu masih ada sederet jawara lainnya.
Lantas, apa yang membuat mereka begitu berani men-take-over dengan nilai begitu tinggi? “Kenapa nggak? Sekarang lombanya ramai terus, hadiahnya besar dan tidak pernah dipotong karena gantangannya selalu full,” kata Hengky memberi alasan tentang minatnya berburu burung unggulan.
Alasan yang realtistis memang. Sejak dibeli beberapa bulan lalu, sang gaco sudah puluhan kali memetik kemenangan di beragam even penting. Kalau dihitung-hitung, dengan kondisi penampilan burung yang stabil di lapangan, belum setahun sebenarnya sudah balik modal.
Apalagi saat ini kelas pleci selalu ada di latberan maupun lomba yang digelar nyaris setiap hari. Dan, burung ini bisa turun atau main beberapa kali dalam sepekan. Bandingkan dengan burung lain, yang turun paling banter kuat satu atau dua kali dalam seminggu.
Mirip anis merah
Karakter pleci yang mirip-mirip anis merah, dan kebiasaannya ditrek dengan sesama jenisnya sebelum ke lapangan, membuatnya seperti peralihan dari anis merah ke pleci. Ya, rata-ratac mereka, pemain pleci, sebelumnya dikenal sebagai jawara anis merah.
Hengky Bor misalnya, dikenal sebagai pemilik jawara anis merah, kini mencoba fokus ke pleci. Demikian halnya dengan Renan dari Pleci Duta Kicau Mania (PDKM) sebuah komuntas khusus pleci di dunia maya, kini dia lebih merasa nyaman main di jenis pleci. “Ya, karena karà kternya ngggak beda jauh dengan anis merah,” ungkap Renan.
Kini tidak kurang dari 12 ekor pleci andalannya, bahkan salah satunya, Marjinal, kerap juara di beragam even.
Perawatannya yang relatif mudah ini yang membuatnya Iebih asyik main di jenis ini. “Kalau kita awalnya main di anis, terus ke pleci, itu lebih mudah,” ungkapnya.
Yang penting, burung memenuhi standar kualitas pakem yang diterapkan, berbunyi lebih lantang, duduk sambil ngerempel saat ketemu lawan di lapangan, yang diselingi materi isian seperti gereja tarung, kenarian, ciblekan dan beseten kolibri, sudah cukup jadi modal utamanya untuk turun gelanggang.
Tingginya minat pada burung pleci ini tampak dari tumbuhnya komunitas pleci dengan beragam macam bendera yang diusungnya. Bahkan, salah satu komunitas pleci di kawasan sunter yaitu Pleci 123 berani menggelar latber rutin tiap hari Sabtu di lapangan permanennya – kawasan Sunter Jakarta Utara. Semua khusus pleci, tidak ada jenis burung lain.
Sumber : http://omkicau.com/